Minggu, 21 Desember 2008

Kolapse-Nya Model Usaha B2C

Di awal tahun 2001, saham-saham dotcommers terutama B2C tampaknya kembali bermasalah dengan turun drastis-nya saham Yahoo.com di NASDAQ sampai menurunkan CEO & Direktur Marketing mereka dari tampuk pimpinan. Yang disusul dengan berjatuhannya saham-saham media online lainnya seperti CNET dll. Dengar-dengar hal ini juga terjadi di Indonesia, beberapa teman dotcommers terpaksa mengurangi puluhan karyawannya.



Kasus jatuhnya dotcommers ini biasanya ujung-ujungnya sederhana saja sih, yaitu UUD juga. Kebanyakan model bisnis B2C gagal mencapai target pemasukan untuk menutupi biaya operasional & modal para dotcommers tsb. Yang terutama karena turunnya spending berbagai perusahaan untuk memasang iklan (banners ad) di berbagai portal tsb.

Memang harus di akui bahwa proses kolapse ini hanya terjadi model bisnis B2C, sedangkan B2B yang sifatnya transaksi antar perusahaan, antara pengrajin di Bali, di Jogya, di Jepara dengan distributor-nya di Eropa, di Amerika melalui e-mail yang sederhana saja justru tidak terpengaruh banyak dengan kondisi pasar modal NASDAQ dll. bahkan uang yang masuk jauh lebih besar daripada B2C ini. Bisnis akses Internet, seperti ISP, WARNET dll-pun tidak mengalami kolapse yang parah seperti B2C, memang mengalami penurunan karena kita harus membayar US$ untuk menyewa bandwidth ke Internet & investasi PC-nya yang menjadi lebih berat dengan kondisi politik gunjang-ganjing belakangan ini.

Bagaimana kiat / cara menyelamatkan bisnis B2C yang sedang kolapse ini? Isu yang mendasari konsep usaha B2C sebetulnya sangat terkait dengan jumlah pengakses Internet di negara tsb, jumlah massa internet dan jumlah komunitas yang menempel ke portal B2C tersebut. Dalam bahasa dotcommers barangkali kunci-nya adalah kemampuan membangun komunitas, hanya pemimpin komunitas yang bisa survive dalam bisnis B2C di Internet. Sialnya menjadi pemimpin itu bukan pekerjaan yang gampang apalagi pada bangsa yang sudah 32 tahun terbiasa menunggu petunjuk Bapak di atas sana.

Kalau saya pikir kunci-nya harus pada baca-baca bukunya Prof. Sarlito (Psychology UI) khususnya tentang psychology massa. Juga membaca-baca tentang tentang psychological warfare & information warfare di Internet, yang cukup banyak tersebar & terbuka di situs-situs militer seperti di DoD (Department of Defence) US. Ilmu perang content ini yang akan sangat membantu dalam kita survive di dunia cyber terutama di B2C yang sifatnya menggerakan "massa". Kalau bisnis B2B yang sifatnya lebih pasti & lebih besar duit yang berputarnya biasanya pemain-nya lebih banyak diam saja & tidak listing ke bursa saham.

Jika masih gagal dalam menggalang massa di dunia maya, yang memang jumlah massa-nya masih sedikit sekali. Seperti di Indonesia massa Internet di Indonesia kan masih kurang dari 1% dari rakyat Indonesia, jadi masih sulit & kurang memadai kalau kita hanya menggalang massa di Internet saja. Mau tidak mau kita harus melakukan strartegi-strategi hybrid, mengintegrasikan dunia maya dengan dunia nyata. Yah pada akhirnya tidak realistis jika kita menggantungkan diri 100% kepada pola usaha B2C di Internet yang nombok terus. Ada baiknya melakukan diversifikasi ke usaha lain yang paralel / menunjang usaha B2C di Internet-nya, misalnya:


• Membuat organizer, misalnya B2C bidang travel ya membuat paket tour.
• Membuat usaha paralel di dunia nyatanya, seperti LippoShop ternyata 80-90% transaksinya kan lewat telepon & FAX bukan Internet seperti di akui oleh Pak Parapak. Bayangkan, kalau LippoShop mengandalkan 100% ke Internet bisa mati juga dia.
• Membuat workshop & training, terutama kalau bidang usahanya memang memungkinkan di sekitar ilmu pengetahuan (apa aja).
• Membuat seminar & talkshow, terutama kalau bidang usahanya memang di sekitar distribusi informasi.

Dengan kondisi massa di Internet masih sedikit, pada akhirnya tidak bisa 100% mengandalkan model usaha B2C di Internet. Paling ideal kalau bisa paralel di dua (2) dunia sekaligus.

Saya masih percaya kunci-nya usaha B2C ada di kemampuan utk menguasai psychology massa (Pak Sarlito), information warfare & psychological warfare karena rekan-rekan B2C berhubungan langsung dengan massa / komunitas. Berbeda dengan model usaha B2B yang tidak berhubungan dengan massa.

"Onno W. Purbo"

0 komentar:

Template by:
Free Blog Templates