Senin, 22 Desember 2008

Strategi Penetrasi e-commerce & Dotcommers di Indonesia

Indonesia hari ini di servis oleh 40-an Internet Servis Provider (ISP) dari 130-an ISP lisensi yang ada. ISP Indonesia melayani sekitar 1,5 juta pengguna aktif. Mereka sebagian besar anak muda 20-30 tahun & berpendidikan SMU ke atas. Apakah kondisi pasar ini menjadi potensial untuk melakukan e-commerce? Paling tidak survey yang dilakukan MarkPlus & Swa di awal tahun 2000 menunjukan kurang dari 10% dari 1000+ responden yang melakukan pembelian melalui kartu kredit.

Dengan teknologi warung internet jika diimplementasikan ke pusat massa seperti sekolah, perkantoran, wartel, perguruan tinggi, pesantren, madrasah sebetulnya kita dapat dengan mudah melihat 20-an juta pengguna Internet dalam waktu 2-3 tahun mendatang. Bahkan secara teknologi sebetulnya kita bisa menekan biaya akses Internet menjadi sekitar Rp. 10-30.000 / bulan / orang termasuk untuk keperluan SLJJ & SLI menggunakan internet telepon. Untuk sebagian lembaga pendidikan tinggi kita dapat menekan biaya sampai sekitar Rp. 5000 / bulan / mahasiswa. Cerita akan menjadi lebih seru jika kita bisa mencapai target untuk memberikan akses internet kepada setiap orang di Asia Pasifik sebelum tahun 2005 seperti dicanangkan oleh Asia Pacific Summit Information Society di Tokyo bulan Oktober 2000 yang lalu dengan mengeluarkan Tokyo Declaration & Action Plan. Bayangkan kita akan melihat paling tidak 150-an juta orang Indonesia di Internet tentunya akan menarik cerita ini. Dengan kondisi yang serba terbatas tentunya kita harus jeli dalam melakukan manouver agar survive dalam usaha yang dilakukan.

Berbagai media massa maupun rangkaian seminar yang demikian gencar tentang e-commerce memang cukup mengangkat konsep e-commerce ke permukaan. Bahkan sering kali e-commerce hampir didaulatkan menjadi salah satu cara yang paling ampuh untuk berusaha di Internet. Lebih sial lagi, konsep e-commerce sering di campur adukan dengan media online kerane keberhasilan detik.com, astaga!com, satunet dll. Akhornya sering kita terjebak dalam pola fikir bahwa untuk sukses di Internet harus mempunyai portal yang memuat banyak berita, yang mempunyai banyak produk yang di tawarkan melalui Web, yang berhasil memotong / memperpendek rantai supply, yang terkait ke payment gateway yang dioperasikan oleh Bank. Belum lagi kompleksitas teknologi yang banyak di dengungkan mulai dari push technology, authentication, certificate authority (CA), digital signature, biometric authentication (finger print, voice recognation, muka, mata), XML, HTML, Storage Access Network (SAN) dll semua rasanya demikian kompleks untuk menjalankan e-commerce secara “baik” dan “benar”. Memang pola fikir demikian tidak ada salahnya terutama bagi mereka yang bermodal kuat, masalah utama yang menjadikan cerita e-commerce menjadi menantang karena ternyata pengguna Indonesia & di dunia di dominasi anak muda - artinya bukanlah pasar yang mempunyai uang cukup banyak untuk dibuang untuk hal yang konsumtif. Di tambah sialnya cyberpreneur muda ini juga umumnya tidak mempunyai cukup uang / finansial yang kuat untuk menahan napas melawan portal besar yang jor-joran membagi servis-nya secara cuma-cuma.

Mungkinkah para dotcommers muda mampu bertempur melawan para pebisnis kawakan dari old economy? Mengapa tidak? Kenyataannya, saat ini tidak banyak orang yang betul-betul menguasai teknik untuk berusaha di Internet. Para pebisnis dunia lama-pun sebetulnya masih meraba-raba cara yang paling baik untuk melakukan penetrasi di dunia Internet. Dengan kondisi yang sama-sama sedang belajar ini sebetulnya kesempatan para dotcommers muda untuk survive sama dengan para pebisnis kawakan dari old economy.

Teknologi memang bukan merupakan fokus utama dalam kesempatan ini. Saya yakin para pembaca mulai bisa merasakan bahwa e-commerce maupun media online bukan satu-satunya cara untuk bisa survive dalam dunia maya. Apalagi pengusaha e-commerce & media online yang ada umumnya memposisikan pengguna sebagai konsumen, sehingga pengguna mengeluarkan uang untuk bertransaksi. Memposisikan pengguna lain sebagai konsumen mengandung konsekuensi finansial cukup besar untuk iklan & promosi, untuk server multimedia, untuk membangun content yang bisa menarik pengguna lain untuk masuk dan mengikat dirinya ke fasilitas yang kita sediakan. Pola old economy tampaknya masih banyak tertanam di banyak dotcommers di Indonesia maupun di luar negeri yang umumnya berfikiran bahwa dotcommer harus menyediakan fasilitas untuk menarik demand. Pola supply created demand bukanlah pola yang baik untuk di ikuti oleh sebagian besar dotcommers muda yang umumnya kekurangan dana.

Melihat kenyataan bahwa banyak dotcommers / cyberpreneur yang survive dalam kehidupannya di Internet menunjukan bahwa ada model-model usaha selain e-commerce & media online yang cocok bagi dotcommers muda yang bermodal pas-pasan. Berbeda dengan pola old economy yang sifatnya lebih top down dan supply created demand dengan konsekuensi finansial yang tinggi. Pada dotcommers muda dengan modal pas-pasan hampir dapat dipastikan untuk dapat survive harus membalikan paradigma menjadi demand created supply berbasis pola kemitraan yang tidak membedakan derajat seseorang sebagai supplier / produsen / konsumen. Memang pola kemitraan ini menyebabkan sistem menjadi lebih sosialis & bersifat gotong royong akan tetapi sangat ampuh bagi dotcommers yang masih muda dan dana terbatas.

Untuk memaksimalkan penguasaan medan di internet sedikit pengetahuan tentang prinsip dasar karakteristik Internet akan sangat membantu. Karakteristik Internet sangat berbeda dengan umumnya media massa yang lebih bersifat tayangan satu arah saja. Internet merupakan media yang sangat memungkin untuk melakukan interaksi yang sangat intensif dengan banyak orang sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Kemampuan untuk mengeksploitasi karakteristik interaktif ini yang akan menjadi kunci survive seorang cyberpreneur di Internet; baik para veteran maupun dotcommers muda.

Tambahan khusus untuk situasi Indonesia kita harus jeli mensiasati kondisi infrastruktur Internet yang demikian lambat, penggunaan teknologi multimedia yang mewajibkan infrastruktur berkecepatan tinggi akan menghalangi kita dalam melakukan penetrasi ke masyarakat internet di Indonesia yang kebanyakan hanya mampu membayar akses jasa yang sifatnya text based seperti e-mail. Kebanyakan para pengusaha kaya justru mengkonsentrasikan pada proyek mercusuar multimedia dan padat teknologi, hal ini bisa jadi nantinya merupakan kesalahan paling fatal yang tanpa di sadari dilakukan secara berulang. Itulah paradigma supply created demand yang sering overshoot dalam membidik sasaran karena difokuskan pada penampilan fisik.

Berbeda dengan dunia fisik dimana kita berada & bekerja yang biasanya lebih mudah merepresentasikan hal yang sifatnya material fisik. Di Internet kita berenang dalam lautan informasi & pengetahuan. Berbeda dengan dunia nyata yang lebih banyak di dominasi oleh kualitas material fisik yang kita miliki / kita hasilkan; dalam dunia Internet kebaikan / keberhasilan akan lebih di tentukan oleh kualitas informasi dan pengetahuan yang kita hasilkan dan kita sebarkan ke masyarakat melalui berbagai media termasuk melalui internet baik secara satu arah maupun interaktif dua arah.

Karena semua pengusaha di Internet sebetulnya masih dalam taraf belajar, secara logika sederhana Internet pasti tidak hanya diperuntukan bagi orang / konglomerat yang bermodal kuat; atau orang dekat dengan kekuasaan dan perusahaan yang di dukung oleh banyak sekali pakar / ahli. Dunia Internet layaknya sebuah dunia kebebasan, tidak ada satu kekuasaan-pun termasuk para kroni-nya yang bisa menguasai dunia Internet secara utuh, sekedar kaya & bermodal kuat tidak akan cukup untuk menguasai Internet; bahkan di bantu oleh ratusan konsultan / pakar dalam membangun situs di Internet tidak menjamin sama sekali. Lebih sial lagi berbagai teknik / strategi dotcommers yang mungkin sukses besar di luar negeri belum tentu cocok dengan Indonesia yang budaya & infrastrukturnya lebih sederhana.

Bagi para veteran Internet Indonesia yang sudah bermain e-mail sejak tahun 1985-an secara naluriah akan dapat menentukan cara yang paling effektif dan halus tanpa melakukan pemaksaan untuk penetrasi ke dalam image para pengguna Internet yang ada di Indonesia. Masyarakat Internet sangat berbeda sekali karakteristik-nya dengan masyarakat umumnya di Indonesia yang relatif agak mudah untuk di arahkan, di gerakan, di kontrol oleh kekuasaan dll. Di Internet dengan komposisi pengguna yang umumnya berpendidikan dan masih muda menyebabkan kemapanan menjadi sesuatu yang tidak terlalu menguntungkan; kedinamisan justru yang akan menjadi hal yang sangat menarik di Internet. Ketidak mapanan ini yang akhirnya menjadi kunci utama bagi kaum muda dan orang yang dinamis untuk mengeksploitasi & melakukan penetrasi di Internet.

Pada akhirnya bukan modal, bukan kekuasaan yang akan menentukan kemampuan seseorang / sekelompok orang untuk survive di Internet akan tetapi dinamika & kemampuan berteman (networking). Keaktifan dalam berinteraksi dan berpartisipasi dalam komunitas pada akhirnya akan menjadi kunci keberhasilan utamanya. Contoh legendaris tentang ini adalah sistem operasi Linux yang di awali keisengan Linus pada waktu dia masih mahasiswa. Linus melepaskan sistem operasinya secara cuma-cuma (gratis) ke masyarakat maya di Internet dan kemudian bersama-sama mengembangkan sistem operasi tersebut dengan bekerjasama dengan banyak orang di seluruh dunia. Komunitas terbentuk tidak ada batasan yang jelas antara produsen, programmer, pengguna, konsumen semua sejajar bekerja bahu membahu saling tolong menolong untuk kebaikan bersama. Memang di awalnya terlihat kumuh akan tapi dalam selang waktu hampir 10 tahun akhirnya terbentuk komunitas yang sangat solid bahkan merupakan kompetitor yang berbahaya bagi microsoft.

Pola yang sangat mirip dengan gerakan Linux telah pula terjadi di Indonesia tepatnya di gerakan pengembangan warung Internet di Indonesia. Saat ini ada 1000+ Warung Internet di seluruh Indonesia dengan markas-nya di asosiasi-warnet@egroups.com yang di arsipkan di http://www.egroups.com. Berbagai informasi tentang warnet di Indonesia bisa dilihat di beberapa situs seperti http://www.detik.com/net/kolom-warnet, http://warnet.idaman.com & http://www.natnit.net. Secara finansial sebetulnya tidak uang yang berputar dalam usaha Warnet di Indonesia telah mencapaian puluhan milyard rupiah bahkan dalam waktu dekat akan mendekatan ratusan milyard rupiah, sebuah perputaran uang yang tidak bisa di sepelekan oleh semua pihak. Sukur alhamdullillah saat ini tidak dikuasai & di monopoli oleh siapapun. Berawal dari seminar WARNET yang pertama di ITB di akhir Januari 2000 terus berkembang ke berbagai diskusi di mailing list di Internet yang di sertai dengan berbagai aktifitas roadshow seminar, workshop di berbagai kota di Indonesia. Komunitas Warnet menjadi semakin kuat dengan terbentuknya Koperasi Warnet seperti di Bandung & Surabaya untuk secara bersama menyewa bandwidth dalam kecepatan beberapa Mbps ke Internet untuk kemudian di pakai bersama oleh puluhan warnet di masing-masing kota. Belum lagi jika WARTEL bersedia di ajari untuk memberikan akses e-mail yang murah. Bukan mustahil paling tidak 20-an juta bangsa ini bisa mengakses Internet dengan biaya hanya Rp. 10-30.000 / bulan / orang termasuk di dalamnya biaya SLJJ, SLI yang murah karena menggunakan teknologi VoIP. Keberadaan komunitas Warnet ini sangat strategis untuk saling belajar, saling membantu, bergotong royong membangun jaringan termasuk secara bersama menawar kepada pihak Telkom, Indosat maupun POSTEL agar Warnet memperoleh posisi yang lebih baik. Belum lagi dihitung berapa banyak para sponsor, vendor yang dengan suka rela mengeluarkan uang juta-an rupiah untuk mensponsori berbagai acara seminar & pemandaian bangsa ini agar pengusaha warnet semakin banyak.

Keberadaan komunitas warnet yang demikian solid telah secara nyata menunjukan sebuah pola usaha di Internet yang sangat lain dari old economy. Komunitas yang saling tolong menolong, usaha kecil rumahan, teleworker mandiri yang bekerja sendiri, pengrajin metal di Bali yang mengekspor hasilnya ke Eropa, pengrajin bordir di Tasikmalaya yang mengekspor hasilnya ke luar negeri semua bernaung dalam komunitas-komunitas yang dibangun di atas infrastruktur warung internet yang banyak bertebaran. Secara umum semua merupakan komunitas usaha kecil yang saling bekerjasama untuk membangun sesuatu yang besar. Di Internet keberadaan jaringan, kenalan, teman, akses ke informasi & pengetahuan menjadi aset yang luar biasa berharganya - jauh lebih besar daripada aset fisik yang biasa, karena di Internet kita lebih banyak berinteraksi dengan informasi & pengetahuan dengan ketergantungan yang sangat minimal kepada tampilan / aset fisik.

Jangan kaget kalau kekuatan komunitas usaha kecil menengah ini jauh lebih besar daripada usaha-usaha biasa di old-economy. Bayangkan seorang cyberpreneur / dotcommer muda berpakaian sandal, jeans, celana pendek & baju kaos saja mungkin berusia 20-25 tahun bekerja sendiri menggunakan peralatan PC atau laptopnya dilengkapi akses Internet bukan mustahil akan menghasilkan Rp. 5-10 juta / bulan tanpa perlu banyak keluar rumahnya untuk bekerja di kantoran. Tidak ada lagi kebutuhan untuk mencari kerja di perusahaan-perusahaan besar, bekerja kantoran yang harus datang tepat waktu di pagi hari dan pulang malam hari. Tak ada lagi ikatan terhadap waktu. Tidak perlu penampilan fisik yang terlalu wah dan mahal. Kedekatan dengan kekuasaan old economy tidak menjadi nilai tambah. Keberhasilan lebih banyak di tentukan oleh sedikit hal saja seperti kemauan untuk memberi yang terbaik untuk komunitas / masyarakat, kemauan bekerjasama, tingkat intelektualitas, luasnya wawasan & pengetahuan - tidak lebih banyak dari hal itu.

Internet, e-commerce, warung internet & web memang menjadi alat bantu utama, akan tetapi bukan tujuan utama. Keberhasilan & sukses lebih banyak di tentukan oleh kemauan memberikan servis ke masyarakat banyak, bergotong royong, berinteraksi & bekerjasama membangun komunitas. Saya yakin sebagian besar dari kita di Indonesia mempunyai kemampuan yang dibutuhkan untuk survive bahkan sukses dalam usahanya dibantu Internet. Semoga sukses.

"Onno W. Purbo
Penulis Teknologi Informasi"

0 komentar:

Template by:
Free Blog Templates