Senin, 08 Desember 2008

Indonesia e-commerce pada tahun 2010 (Onno W. Purbo)

Proses sosialisasi e-commerce / IT di Indonesia hanya bisa berhasil jika pemerintah, swasta & berbagai lapisan masyarakat di Indonesia dapat menggunakan e-mail sebagai media komunikasi yang formal. Demikian salah satu kesimpulan utama yang bisa di petik dari Simposium APEC tingkat tinggi tentang e-commerce & perdagangan tanpa kertas (paperless trading) 9-10 Februari 2001 yang di buka oleh Mr. Shi Guangsheng, Meteri Luar Negeri & Kerjasama Ekonomi, dan Mr. Wu Jichuan, Menteri Negara Indusrtri Informasi dan Dutabesar Australia di Cina. Atas sponsor pemerintah Australia (bukan utangan Bank Dunia / IMF) saya berkesempatan untuk hadir dalam Simposium tersebut di adakan di China International Electronic Commerce Center yang terletak agak di luar kota Beijing dan tampaknya merupakan wilayah baru yang dikembangkan untuk industri masa depan.



Target yang ingin dicapai dari keseluruhan proses tersebut adalah sangat sederhana, kita menginginkan e-commerce & paperless trading dapat menjadi realita di negara maju APEC pada tahun 2005, sedang bagi negara berkembang APEC (termasuk Indonesia) di targetkan pada tahun 2010 harus bisa berpartisipasi dalam mekanisme perdagangan yang effisien tersebut. Sayang tidak ada praktisi hukum Indonesia yang terlibat di legal framework padahal pihak Australia bersedia untuk mensponsori lima (5) pengamat Indonesia untuk berpartisipasi dalam acara tersebut, kesempatan tersebut hanya di isi oleh rekan dari INDAG & POSTEL.

Mungkin ada baiknya teman-teman di APEC Desk di berbagai departemen untuk lebih akrab berkoordinasi terutama menggunakan e-mail / mailing list seperti genetika@yahoogroups.com atau mastel-e-commerce@yahoogroups.com. Sosialisasi e-mail adalah yang minimal harus di lakukan di masing-masing departemen di pemerintahan maupun di berbagai lapisan masyarakat sebelum kita terbang menuju tatanan e-commerce yang lebih pasti.

Harus di akui memang pola fikir, cara pandang masing-masing negara berbeda satu sama lain terutama karena tingkat kemajuan sosial & budaya masyarakat di masing-masing negara. Rekan-rekan dari negara maju seperti Australia, Amerika & Jepang biasanya berpegang pada asumsi bahwa masyarakat yang dihadapi relatif jujur, profesional & pandai. Sialnya, hal ini bukan gambaran umum di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.

Tiga (3) isu utama menjadi pokok bahasan selama simposium, (1) masalah infrastruktur, (2) masalah hukum / legal dan (3) sumber daya manusia. Dalam bidang Infrastruktur, isu utama-nya sebetulnya sangatlah klasik seperti penetrasi PC, penetrasi telepon di masyarakat. Tiongkok barangkali merupakan contoh paling fantastis dalam melakukan percepatan penetrasi teleponnya dari yang hanya beberapa juta saluran sambung di tahun 80-an, pada hari ini telah mencapai paling tidak sekitar 200 juta-an saluran sambungan. Belum lagi pengguna Internet di Tiongkok ini yang booming mencapai 20 juta pengguna. Semua di tunjang dengan berbagai gerakan yang cukup revolusioner di bidang industri, yang bisa kita lihat akibatnya dengan murahnya barang-barang buatan Tiongkok seperti kendaraan bermotor, peralatan komputer dll yang harganya rata-rata 50% dari harga pasaran di luar tiongkok. Belum lagi program pembrantasan korupsi yang tanpa kompromi dan telah berakibat minimal satu orang wakil menteri, dan beberapa pimpinan setingkat DIRJEN semua di hukum mati. Pada akhirnya pengembangan infrastruktur telekomunikasi maupun e-commerce merupakan seni tersendiri yang harus dibarengi oleh kebijakan pemerintah yang menunjang terjadi iklim industri telekomunikasi & informasi yang baik, kualitas sumber daya manusia yang baik maupun keahlian dalam berbagai teknik telekomunikasi baik yang menggunakan kabel maupun tanpa kabel melalui satelit atau microwave terutama untuk mencapai daerah rural / terpencil dan juga di perkotaan yang tidak bisa diberikan servis oleh Telkom pada kecepatan tinggi.

Di Indonesia masterplan untuk infrastruktur pendukung IT sebetulnya telah mulai di buat & di rangkum oleh rekan-rekan di POSTEL dibawah koordinasi Pak Ismail Ahmad (ismail@postel.go.id) & Pak Azhar Hasyim (azhar_hasyim@postel.go.id). Sebagian dari rencana strategis maupun rencana taktis yang akan digunakan untuk mengembangkan infrastruktur untuk memberdayakan masyarakat Internet di Indonesia dapat dibaca di beberapa artikel di detik.com. Salah satu hal yang paling menggembirakan adalah tidak akan ada pembatasan ijin ISP di Indonesia terutama untuk di luar jawa yang di sertai dengan kemudahan perolehan ijin ISP.

Dalam bidang hukum (legal), bea cukai sebetulnya merupakan kunci utama selain teknologi e-commerce. Penurunan tarif cukai & effisiensi kepabeanan merupakan trend utama. Estimasi penghematan US$50 milyar per tahun bagi konsumen diperkirakan bisa diperoleh dari berbagai effisiensi cukai. Perjanjian penurunan tarif ini merupakan bagian dari kesepakatan WTO khususnya Information Technology Agreement (ITA). Komputer merupakan salah satu peralatan yang tarif beacukai-nya di nol-kan, sialnya DIRJEN PAJAK kemudian mengenakan PPnBM (Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah) kepada komputer sebesar 20% - yang tentu saja sangat merugikan bangsa Indonesia sendiri secara keseluruhan.

Kebijakan / langkah pasti yang perlu di ambil masing-masing negara di usulkan oleh Michael Baker dari AOEMA (michael.baker@aoema.org) yang terdiri dari lima (5) kesepakatan internasional untuk melakukan e-commerce yang baik, mulai dari penyimpanan informasi secara elektronik; kebijakan menggunakan e-mail untuk berkomunikasi; indentitas, tanda tangan digital & hak cipta; penggunaan certificate authority; dan penggunaan kepercayaan pihak ke tiga.

Terakhir adalah bidang sumber daya manusia yang kebetulan saya terlibat secara aktif. Pada prinsipnya semua negara APEC setuju bahwa Sumber Daya Manusia merupakan kunci utama keberhasilan kita dalam mengembangkan e-commerce di masing-masing negara. Sialnya, kebanyakan orang maupun pemerintah memberikan kesan mengangkat isu SDM sekedar basa-basi supaya terlihat manusiawi saja oleh negara lain, tanpa memberikan program & budget yang betul. Pada dasarnya ada dua strategi umum yang perlu di jalankan di lapangan di samping kebijakan pemerintah yang kondusif. Pertama adalah masalah IT awareness / IT literacy untuk masyarakat banyak yang berfokus untuk meningkatkan kuantitas masyarakat IT. Kedua adalah pendidikan untuk IT profesional yang lebih di fokuskan pada peningkatan kualitas SDM profesional. Beberapa hal taktis yang bisa ditindak lanjuti oleh APEC dalam pemayarakatan IT misalnya:

• Penggunaan e-mail sebagai alat komunikasi yang resmi antar pimpinan APEC maupun pejabat tingginya.
• Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi antar negara. Sedang penggunaan bahasa lokal untuk komunikasi internal di negara masing-masing agar dapat menjangkau massa yang lebih besar.
• Memberikan insentif bagi penulis muda untuk menuliskan pengetahuan mereka dalam bahasa lokal.
• Mengadakan program training for trainers yang sifatnya kompetitif di antara negara APEC.

Beberapa langkah taktis yang dapat dilakukan oleh APEC untuk memperoleh lebih banyak IT Profesional, terutama:

• Meminta menteri pendidikan untuk memasukan IT kedalam kurikulum nasional.
• Memasukan IT dalam segala jenjang pendidikan baik formal, non-formal maupun informal.
• Encourge program sertifikasi IT yang berbasis di Industri, seperti MCP / MCSE pada Microsoft atau program serupa Cisco, Linux dll.
• Membangun market place untuk interaksi B2B antar pemain di APEC.

Selain usaha yang dilakukan oleh APEC, sebetulnya masing-masing negara dapat juga memacu pertumbuhan SDM yang melek IT, misalnya dengan cara:

• Mendorong tumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan terutama di bidang IT. Sukur-sukur DIKNAS bisa memudahkan semua proses perijinannya.
• Mendorong semua PTS, PTN untuk mempublikasikan hasil penelitiannya di publik, menggunakan GPL / copyleft.
• Mendorong terbentuknya perpustakaan digital & knowledge infrastruktur.

Untuk meningkatkan IT Literacy / IT Awareness ada beberapa hal yang bisa dilakukan secara swadaya masyarakat, misalnya:

• Melakukan roadshow, seminar & talkshow.
• Mengaktifkan media interaksi melalui mailing list.
• Mempublikasikan semua kebijakan & regulasi pemerintah melalui Web yang bisa secara cuma-cuma di akses.

Proses sosialisasi e-commerce / IT di Indonesia hanya bisa berhasil jika pemerintah, swasta & berbagai lapisan masyarakat di Indonesia dapat menggunakan e-mail sebagai media komunikasi yang formal. Demikian salah satu kesimpulan utama yang bisa di petik dari Simposium APEC tingkat tinggi tentang e-commerce & perdagangan tanpa kertas (paperless trading) 9-10 Februari 2001 yang di buka oleh Mr. Shi Guangsheng, Meteri Luar Negeri & Kerjasama Ekonomi, dan Mr. Wu Jichuan, Menteri Negara Indusrtri Informasi dan Dutabesar Australia di Cina. Atas sponsor pemerintah Australia (bukan utangan Bank Dunia / IMF) saya berkesempatan untuk hadir dalam Simposium tersebut di adakan di China International Electronic Commerce Center yang terletak agak di luar kota Beijing dan tampaknya merupakan wilayah baru yang dikembangkan untuk industri masa depan.

Target yang ingin dicapai dari keseluruhan proses tersebut adalah sangat sederhana, kita menginginkan e-commerce & paperless trading dapat menjadi realita di negara maju APEC pada tahun 2005, sedang bagi negara berkembang APEC (termasuk Indonesia) di targetkan pada tahun 2010 harus bisa berpartisipasi dalam mekanisme perdagangan yang effisien tersebut. Sayang tidak ada praktisi hukum Indonesia yang terlibat di legal framework padahal pihak Australia bersedia untuk mensponsori lima (5) pengamat Indonesia untuk berpartisipasi dalam acara tersebut, kesempatan tersebut hanya di isi oleh rekan dari INDAG & POSTEL.

Mungkin ada baiknya teman-teman di APEC Desk di berbagai departemen untuk lebih akrab berkoordinasi terutama menggunakan e-mail / mailing list seperti genetika@yahoogroups.com atau mastel-e-commerce@yahoogroups.com. Sosialisasi e-mail adalah yang minimal harus di lakukan di masing-masing departemen di pemerintahan maupun di berbagai lapisan masyarakat sebelum kita terbang menuju tatanan e-commerce yang lebih pasti.

Harus di akui memang pola fikir, cara pandang masing-masing negara berbeda satu sama lain terutama karena tingkat kemajuan sosial & budaya masyarakat di masing-masing negara. Rekan-rekan dari negara maju seperti Australia, Amerika & Jepang biasanya berpegang pada asumsi bahwa masyarakat yang dihadapi relatif jujur, profesional & pandai. Sialnya, hal ini bukan gambaran umum di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.

Tiga (3) isu utama menjadi pokok bahasan selama simposium, (1) masalah infrastruktur, (2) masalah hukum / legal dan (3) sumber daya manusia. Dalam bidang Infrastruktur, isu utama-nya sebetulnya sangatlah klasik seperti penetrasi PC, penetrasi telepon di masyarakat. Tiongkok barangkali merupakan contoh paling fantastis dalam melakukan percepatan penetrasi teleponnya dari yang hanya beberapa juta saluran sambung di tahun 80-an, pada hari ini telah mencapai paling tidak sekitar 200 juta-an saluran sambungan. Belum lagi pengguna Internet di Tiongkok ini yang booming mencapai 20 juta pengguna. Semua di tunjang dengan berbagai gerakan yang cukup revolusioner di bidang industri, yang bisa kita lihat akibatnya dengan murahnya barang-barang buatan Tiongkok seperti kendaraan bermotor, peralatan komputer dll yang harganya rata-rata 50% dari harga pasaran di luar tiongkok. Belum lagi program pembrantasan korupsi yang tanpa kompromi dan telah berakibat minimal satu orang wakil menteri, dan beberapa pimpinan setingkat DIRJEN semua di hukum mati. Pada akhirnya pengembangan infrastruktur telekomunikasi maupun e-commerce merupakan seni tersendiri yang harus dibarengi oleh kebijakan pemerintah yang menunjang terjadi iklim industri telekomunikasi & informasi yang baik, kualitas sumber daya manusia yang baik maupun keahlian dalam berbagai teknik telekomunikasi baik yang menggunakan kabel maupun tanpa kabel melalui satelit atau microwave terutama untuk mencapai daerah rural / terpencil dan juga di perkotaan yang tidak bisa diberikan servis oleh Telkom pada kecepatan tinggi.

Di Indonesia masterplan untuk infrastruktur pendukung IT sebetulnya telah mulai di buat & di rangkum oleh rekan-rekan di POSTEL dibawah koordinasi Pak Ismail Ahmad (ismail@postel.go.id) & Pak Azhar Hasyim (azhar_hasyim@postel.go.id). Sebagian dari rencana strategis maupun rencana taktis yang akan digunakan untuk mengembangkan infrastruktur untuk memberdayakan masyarakat Internet di Indonesia dapat dibaca di beberapa artikel di detik.com. Salah satu hal yang paling menggembirakan adalah tidak akan ada pembatasan ijin ISP di Indonesia terutama untuk di luar jawa yang di sertai dengan kemudahan perolehan ijin ISP.

Dalam bidang hukum (legal), bea cukai sebetulnya merupakan kunci utama selain teknologi e-commerce. Penurunan tarif cukai & effisiensi kepabeanan merupakan trend utama. Estimasi penghematan US$50 milyar per tahun bagi konsumen diperkirakan bisa diperoleh dari berbagai effisiensi cukai. Perjanjian penurunan tarif ini merupakan bagian dari kesepakatan WTO khususnya Information Technology Agreement (ITA). Komputer merupakan salah satu peralatan yang tarif beacukai-nya di nol-kan, sialnya DIRJEN PAJAK kemudian mengenakan PPnBM (Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah) kepada komputer sebesar 20% - yang tentu saja sangat merugikan bangsa Indonesia sendiri secara keseluruhan.

Kebijakan / langkah pasti yang perlu di ambil masing-masing negara di usulkan oleh Michael Baker dari AOEMA (michael.baker@aoema.org) yang terdiri dari lima (5) kesepakatan internasional untuk melakukan e-commerce yang baik, mulai dari penyimpanan informasi secara elektronik; kebijakan menggunakan e-mail untuk berkomunikasi; indentitas, tanda tangan digital & hak cipta; penggunaan certificate authority; dan penggunaan kepercayaan pihak ke tiga.

Terakhir adalah bidang sumber daya manusia yang kebetulan saya terlibat secara aktif. Pada prinsipnya semua negara APEC setuju bahwa Sumber Daya Manusia merupakan kunci utama keberhasilan kita dalam mengembangkan e-commerce di masing-masing negara. Sialnya, kebanyakan orang maupun pemerintah memberikan kesan mengangkat isu SDM sekedar basa-basi supaya terlihat manusiawi saja oleh negara lain, tanpa memberikan program & budget yang betul. Pada dasarnya ada dua strategi umum yang perlu di jalankan di lapangan di samping kebijakan pemerintah yang kondusif. Pertama adalah masalah IT awareness / IT literacy untuk masyarakat banyak yang berfokus untuk meningkatkan kuantitas masyarakat IT. Kedua adalah pendidikan untuk IT profesional yang lebih di fokuskan pada peningkatan kualitas SDM profesional. Beberapa hal taktis yang bisa ditindak lanjuti oleh APEC dalam pemayarakatan IT misalnya:

• Penggunaan e-mail sebagai alat komunikasi yang resmi antar pimpinan APEC maupun pejabat tingginya.
• Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi antar negara. Sedang penggunaan bahasa lokal untuk komunikasi internal di negara masing-masing agar dapat menjangkau massa yang lebih besar.
• Memberikan insentif bagi penulis muda untuk menuliskan pengetahuan mereka dalam bahasa lokal.
• Mengadakan program training for trainers yang sifatnya kompetitif di antara negara APEC.

Beberapa langkah taktis yang dapat dilakukan oleh APEC untuk memperoleh lebih banyak IT Profesional, terutama:

• Meminta menteri pendidikan untuk memasukan IT kedalam kurikulum nasional.
• Memasukan IT dalam segala jenjang pendidikan baik formal, non-formal maupun informal.
• Encourge program sertifikasi IT yang berbasis di Industri, seperti MCP / MCSE pada Microsoft atau program serupa Cisco, Linux dll.
• Membangun market place untuk interaksi B2B antar pemain di APEC.

Selain usaha yang dilakukan oleh APEC, sebetulnya masing-masing negara dapat juga memacu pertumbuhan SDM yang melek IT, misalnya dengan cara:

• Mendorong tumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan terutama di bidang IT. Sukur-sukur DIKNAS bisa memudahkan semua proses perijinannya.
• Mendorong semua PTS, PTN untuk mempublikasikan hasil penelitiannya di publik, menggunakan GPL / copyleft.
• Mendorong terbentuknya perpustakaan digital & knowledge infrastruktur.

Untuk meningkatkan IT Literacy / IT Awareness ada beberapa hal yang bisa dilakukan secara swadaya masyarakat, misalnya:

• Melakukan roadshow, seminar & talkshow.
• Mengaktifkan media interaksi melalui mailing list.
• Mempublikasikan semua kebijakan & regulasi pemerintah melalui Web yang bisa secara cuma-cuma di akses.

Proses sosialisasi e-commerce / IT di Indonesia hanya bisa berhasil jika pemerintah, swasta & berbagai lapisan masyarakat di Indonesia dapat menggunakan e-mail sebagai media komunikasi yang formal. Demikian salah satu kesimpulan utama yang bisa di petik dari Simposium APEC tingkat tinggi tentang e-commerce & perdagangan tanpa kertas (paperless trading) 9-10 Februari 2001 yang di buka oleh Mr. Shi Guangsheng, Meteri Luar Negeri & Kerjasama Ekonomi, dan Mr. Wu Jichuan, Menteri Negara Indusrtri Informasi dan Dutabesar Australia di Cina. Atas sponsor pemerintah Australia (bukan utangan Bank Dunia / IMF) saya berkesempatan untuk hadir dalam Simposium tersebut di adakan di China International Electronic Commerce Center yang terletak agak di luar kota Beijing dan tampaknya merupakan wilayah baru yang dikembangkan untuk industri masa depan.

Target yang ingin dicapai dari keseluruhan proses tersebut adalah sangat sederhana, kita menginginkan e-commerce & paperless trading dapat menjadi realita di negara maju APEC pada tahun 2005, sedang bagi negara berkembang APEC (termasuk Indonesia) di targetkan pada tahun 2010 harus bisa berpartisipasi dalam mekanisme perdagangan yang effisien tersebut. Sayang tidak ada praktisi hukum Indonesia yang terlibat di legal framework padahal pihak Australia bersedia untuk mensponsori lima (5) pengamat Indonesia untuk berpartisipasi dalam acara tersebut, kesempatan tersebut hanya di isi oleh rekan dari INDAG & POSTEL.

Mungkin ada baiknya teman-teman di APEC Desk di berbagai departemen untuk lebih akrab berkoordinasi terutama menggunakan e-mail / mailing list seperti genetika@yahoogroups.com atau mastel-e-commerce@yahoogroups.com. Sosialisasi e-mail adalah yang minimal harus di lakukan di masing-masing departemen di pemerintahan maupun di berbagai lapisan masyarakat sebelum kita terbang menuju tatanan e-commerce yang lebih pasti.

Harus di akui memang pola fikir, cara pandang masing-masing negara berbeda satu sama lain terutama karena tingkat kemajuan sosial & budaya masyarakat di masing-masing negara. Rekan-rekan dari negara maju seperti Australia, Amerika & Jepang biasanya berpegang pada asumsi bahwa masyarakat yang dihadapi relatif jujur, profesional & pandai. Sialnya, hal ini bukan gambaran umum di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.

Tiga (3) isu utama menjadi pokok bahasan selama simposium, (1) masalah infrastruktur, (2) masalah hukum / legal dan (3) sumber daya manusia. Dalam bidang Infrastruktur, isu utama-nya sebetulnya sangatlah klasik seperti penetrasi PC, penetrasi telepon di masyarakat. Tiongkok barangkali merupakan contoh paling fantastis dalam melakukan percepatan penetrasi teleponnya dari yang hanya beberapa juta saluran sambung di tahun 80-an, pada hari ini telah mencapai paling tidak sekitar 200 juta-an saluran sambungan. Belum lagi pengguna Internet di Tiongkok ini yang booming mencapai 20 juta pengguna. Semua di tunjang dengan berbagai gerakan yang cukup revolusioner di bidang industri, yang bisa kita lihat akibatnya dengan murahnya barang-barang buatan Tiongkok seperti kendaraan bermotor, peralatan komputer dll yang harganya rata-rata 50% dari harga pasaran di luar tiongkok. Belum lagi program pembrantasan korupsi yang tanpa kompromi dan telah berakibat minimal satu orang wakil menteri, dan beberapa pimpinan setingkat DIRJEN semua di hukum mati. Pada akhirnya pengembangan infrastruktur telekomunikasi maupun e-commerce merupakan seni tersendiri yang harus dibarengi oleh kebijakan pemerintah yang menunjang terjadi iklim industri telekomunikasi & informasi yang baik, kualitas sumber daya manusia yang baik maupun keahlian dalam berbagai teknik telekomunikasi baik yang menggunakan kabel maupun tanpa kabel melalui satelit atau microwave terutama untuk mencapai daerah rural / terpencil dan juga di perkotaan yang tidak bisa diberikan servis oleh Telkom pada kecepatan tinggi.

Di Indonesia masterplan untuk infrastruktur pendukung IT sebetulnya telah mulai di buat & di rangkum oleh rekan-rekan di POSTEL dibawah koordinasi Pak Ismail Ahmad (ismail@postel.go.id) & Pak Azhar Hasyim (azhar_hasyim@postel.go.id). Sebagian dari rencana strategis maupun rencana taktis yang akan digunakan untuk mengembangkan infrastruktur untuk memberdayakan masyarakat Internet di Indonesia dapat dibaca di beberapa artikel di detik.com. Salah satu hal yang paling menggembirakan adalah tidak akan ada pembatasan ijin ISP di Indonesia terutama untuk di luar jawa yang di sertai dengan kemudahan perolehan ijin ISP.

Dalam bidang hukum (legal), bea cukai sebetulnya merupakan kunci utama selain teknologi e-commerce. Penurunan tarif cukai & effisiensi kepabeanan merupakan trend utama. Estimasi penghematan US$50 milyar per tahun bagi konsumen diperkirakan bisa diperoleh dari berbagai effisiensi cukai. Perjanjian penurunan tarif ini merupakan bagian dari kesepakatan WTO khususnya Information Technology Agreement (ITA). Komputer merupakan salah satu peralatan yang tarif beacukai-nya di nol-kan, sialnya DIRJEN PAJAK kemudian mengenakan PPnBM (Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah) kepada komputer sebesar 20% - yang tentu saja sangat merugikan bangsa Indonesia sendiri secara keseluruhan.

Kebijakan / langkah pasti yang perlu di ambil masing-masing negara di usulkan oleh Michael Baker dari AOEMA (michael.baker@aoema.org) yang terdiri dari lima (5) kesepakatan internasional untuk melakukan e-commerce yang baik, mulai dari penyimpanan informasi secara elektronik; kebijakan menggunakan e-mail untuk berkomunikasi; indentitas, tanda tangan digital & hak cipta; penggunaan certificate authority; dan penggunaan kepercayaan pihak ke tiga.

Terakhir adalah bidang sumber daya manusia yang kebetulan saya terlibat secara aktif. Pada prinsipnya semua negara APEC setuju bahwa Sumber Daya Manusia merupakan kunci utama keberhasilan kita dalam mengembangkan e-commerce di masing-masing negara. Sialnya, kebanyakan orang maupun pemerintah memberikan kesan mengangkat isu SDM sekedar basa-basi supaya terlihat manusiawi saja oleh negara lain, tanpa memberikan program & budget yang betul. Pada dasarnya ada dua strategi umum yang perlu di jalankan di lapangan di samping kebijakan pemerintah yang kondusif. Pertama adalah masalah IT awareness / IT literacy untuk masyarakat banyak yang berfokus untuk meningkatkan kuantitas masyarakat IT. Kedua adalah pendidikan untuk IT profesional yang lebih di fokuskan pada peningkatan kualitas SDM profesional. Beberapa hal taktis yang bisa ditindak lanjuti oleh APEC dalam pemayarakatan IT misalnya:

• Penggunaan e-mail sebagai alat komunikasi yang resmi antar pimpinan APEC maupun pejabat tingginya.
• Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi antar negara. Sedang penggunaan bahasa lokal untuk komunikasi internal di negara masing-masing agar dapat menjangkau massa yang lebih besar.
• Memberikan insentif bagi penulis muda untuk menuliskan pengetahuan mereka dalam bahasa lokal.
• Mengadakan program training for trainers yang sifatnya kompetitif di antara negara APEC.

Beberapa langkah taktis yang dapat dilakukan oleh APEC untuk memperoleh lebih banyak IT Profesional, terutama:

• Meminta menteri pendidikan untuk memasukan IT kedalam kurikulum nasional.
• Memasukan IT dalam segala jenjang pendidikan baik formal, non-formal maupun informal.
• Encourge program sertifikasi IT yang berbasis di Industri, seperti MCP / MCSE pada Microsoft atau program serupa Cisco, Linux dll.
• Membangun market place untuk interaksi B2B antar pemain di APEC.

Selain usaha yang dilakukan oleh APEC, sebetulnya masing-masing negara dapat juga memacu pertumbuhan SDM yang melek IT, misalnya dengan cara:

• Mendorong tumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan terutama di bidang IT. Sukur-sukur DIKNAS bisa memudahkan semua proses perijinannya.
• Mendorong semua PTS, PTN untuk mempublikasikan hasil penelitiannya di publik, menggunakan GPL / copyleft.
• Mendorong terbentuknya perpustakaan digital & knowledge infrastruktur.

Untuk meningkatkan IT Literacy / IT Awareness ada beberapa hal yang bisa dilakukan secara swadaya masyarakat, misalnya:

• Melakukan roadshow, seminar & talkshow.
• Mengaktifkan media interaksi melalui mailing list.
• Mempublikasikan semua kebijakan & regulasi pemerintah melalui Web yang bisa secara cuma-cuma di akses.

Proses sosialisasi e-commerce / IT di Indonesia hanya bisa berhasil jika pemerintah, swasta & berbagai lapisan masyarakat di Indonesia dapat menggunakan e-mail sebagai media komunikasi yang formal. Demikian salah satu kesimpulan utama yang bisa di petik dari Simposium APEC tingkat tinggi tentang e-commerce & perdagangan tanpa kertas (paperless trading) 9-10 Februari 2001 yang di buka oleh Mr. Shi Guangsheng, Meteri Luar Negeri & Kerjasama Ekonomi, dan Mr. Wu Jichuan, Menteri Negara Indusrtri Informasi dan Dutabesar Australia di Cina. Atas sponsor pemerintah Australia (bukan utangan Bank Dunia / IMF) saya berkesempatan untuk hadir dalam Simposium tersebut di adakan di China International Electronic Commerce Center yang terletak agak di luar kota Beijing dan tampaknya merupakan wilayah baru yang dikembangkan untuk industri masa depan.

Target yang ingin dicapai dari keseluruhan proses tersebut adalah sangat sederhana, kita menginginkan e-commerce & paperless trading dapat menjadi realita di negara maju APEC pada tahun 2005, sedang bagi negara berkembang APEC (termasuk Indonesia) di targetkan pada tahun 2010 harus bisa berpartisipasi dalam mekanisme perdagangan yang effisien tersebut. Sayang tidak ada praktisi hukum Indonesia yang terlibat di legal framework padahal pihak Australia bersedia untuk mensponsori lima (5) pengamat Indonesia untuk berpartisipasi dalam acara tersebut, kesempatan tersebut hanya di isi oleh rekan dari INDAG & POSTEL.

Mungkin ada baiknya teman-teman di APEC Desk di berbagai departemen untuk lebih akrab berkoordinasi terutama menggunakan e-mail / mailing list seperti genetika@yahoogroups.com atau mastel-e-commerce@yahoogroups.com. Sosialisasi e-mail adalah yang minimal harus di lakukan di masing-masing departemen di pemerintahan maupun di berbagai lapisan masyarakat sebelum kita terbang menuju tatanan e-commerce yang lebih pasti.

Harus di akui memang pola fikir, cara pandang masing-masing negara berbeda satu sama lain terutama karena tingkat kemajuan sosial & budaya masyarakat di masing-masing negara. Rekan-rekan dari negara maju seperti Australia, Amerika & Jepang biasanya berpegang pada asumsi bahwa masyarakat yang dihadapi relatif jujur, profesional & pandai. Sialnya, hal ini bukan gambaran umum di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.

Tiga (3) isu utama menjadi pokok bahasan selama simposium, (1) masalah infrastruktur, (2) masalah hukum / legal dan (3) sumber daya manusia. Dalam bidang Infrastruktur, isu utama-nya sebetulnya sangatlah klasik seperti penetrasi PC, penetrasi telepon di masyarakat. Tiongkok barangkali merupakan contoh paling fantastis dalam melakukan percepatan penetrasi teleponnya dari yang hanya beberapa juta saluran sambung di tahun 80-an, pada hari ini telah mencapai paling tidak sekitar 200 juta-an saluran sambungan. Belum lagi pengguna Internet di Tiongkok ini yang booming mencapai 20 juta pengguna. Semua di tunjang dengan berbagai gerakan yang cukup revolusioner di bidang industri, yang bisa kita lihat akibatnya dengan murahnya barang-barang buatan Tiongkok seperti kendaraan bermotor, peralatan komputer dll yang harganya rata-rata 50% dari harga pasaran di luar tiongkok. Belum lagi program pembrantasan korupsi yang tanpa kompromi dan telah berakibat minimal satu orang wakil menteri, dan beberapa pimpinan setingkat DIRJEN semua di hukum mati. Pada akhirnya pengembangan infrastruktur telekomunikasi maupun e-commerce merupakan seni tersendiri yang harus dibarengi oleh kebijakan pemerintah yang menunjang terjadi iklim industri telekomunikasi & informasi yang baik, kualitas sumber daya manusia yang baik maupun keahlian dalam berbagai teknik telekomunikasi baik yang menggunakan kabel maupun tanpa kabel melalui satelit atau microwave terutama untuk mencapai daerah rural / terpencil dan juga di perkotaan yang tidak bisa diberikan servis oleh Telkom pada kecepatan tinggi.

Di Indonesia masterplan untuk infrastruktur pendukung IT sebetulnya telah mulai di buat & di rangkum oleh rekan-rekan di POSTEL dibawah koordinasi Pak Ismail Ahmad (ismail@postel.go.id) & Pak Azhar Hasyim (azhar_hasyim@postel.go.id). Sebagian dari rencana strategis maupun rencana taktis yang akan digunakan untuk mengembangkan infrastruktur untuk memberdayakan masyarakat Internet di Indonesia dapat dibaca di beberapa artikel di detik.com. Salah satu hal yang paling menggembirakan adalah tidak akan ada pembatasan ijin ISP di Indonesia terutama untuk di luar jawa yang di sertai dengan kemudahan perolehan ijin ISP.

Dalam bidang hukum (legal), bea cukai sebetulnya merupakan kunci utama selain teknologi e-commerce. Penurunan tarif cukai & effisiensi kepabeanan merupakan trend utama. Estimasi penghematan US$50 milyar per tahun bagi konsumen diperkirakan bisa diperoleh dari berbagai effisiensi cukai. Perjanjian penurunan tarif ini merupakan bagian dari kesepakatan WTO khususnya Information Technology Agreement (ITA). Komputer merupakan salah satu peralatan yang tarif beacukai-nya di nol-kan, sialnya DIRJEN PAJAK kemudian mengenakan PPnBM (Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah) kepada komputer sebesar 20% - yang tentu saja sangat merugikan bangsa Indonesia sendiri secara keseluruhan.

Kebijakan / langkah pasti yang perlu di ambil masing-masing negara di usulkan oleh Michael Baker dari AOEMA (michael.baker@aoema.org) yang terdiri dari lima (5) kesepakatan internasional untuk melakukan e-commerce yang baik, mulai dari penyimpanan informasi secara elektronik; kebijakan menggunakan e-mail untuk berkomunikasi; indentitas, tanda tangan digital & hak cipta; penggunaan certificate authority; dan penggunaan kepercayaan pihak ke tiga.

Terakhir adalah bidang sumber daya manusia yang kebetulan saya terlibat secara aktif. Pada prinsipnya semua negara APEC setuju bahwa Sumber Daya Manusia merupakan kunci utama keberhasilan kita dalam mengembangkan e-commerce di masing-masing negara. Sialnya, kebanyakan orang maupun pemerintah memberikan kesan mengangkat isu SDM sekedar basa-basi supaya terlihat manusiawi saja oleh negara lain, tanpa memberikan program & budget yang betul. Pada dasarnya ada dua strategi umum yang perlu di jalankan di lapangan di samping kebijakan pemerintah yang kondusif. Pertama adalah masalah IT awareness / IT literacy untuk masyarakat banyak yang berfokus untuk meningkatkan kuantitas masyarakat IT. Kedua adalah pendidikan untuk IT profesional yang lebih di fokuskan pada peningkatan kualitas SDM profesional. Beberapa hal taktis yang bisa ditindak lanjuti oleh APEC dalam pemayarakatan IT misalnya:

• Penggunaan e-mail sebagai alat komunikasi yang resmi antar pimpinan APEC maupun pejabat tingginya.
• Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi antar negara. Sedang penggunaan bahasa lokal untuk komunikasi internal di negara masing-masing agar dapat menjangkau massa yang lebih besar.
• Memberikan insentif bagi penulis muda untuk menuliskan pengetahuan mereka dalam bahasa lokal.
• Mengadakan program training for trainers yang sifatnya kompetitif di antara negara APEC.

Beberapa langkah taktis yang dapat dilakukan oleh APEC untuk memperoleh lebih banyak IT Profesional, terutama:

• Meminta menteri pendidikan untuk memasukan IT kedalam kurikulum nasional.
• Memasukan IT dalam segala jenjang pendidikan baik formal, non-formal maupun informal.
• Encourge program sertifikasi IT yang berbasis di Industri, seperti MCP / MCSE pada Microsoft atau program serupa Cisco, Linux dll.
• Membangun market place untuk interaksi B2B antar pemain di APEC.

Selain usaha yang dilakukan oleh APEC, sebetulnya masing-masing negara dapat juga memacu pertumbuhan SDM yang melek IT, misalnya dengan cara:

• Mendorong tumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan terutama di bidang IT. Sukur-sukur DIKNAS bisa memudahkan semua proses perijinannya.
• Mendorong semua PTS, PTN untuk mempublikasikan hasil penelitiannya di publik, menggunakan GPL / copyleft.
• Mendorong terbentuknya perpustakaan digital & knowledge infrastruktur.

Untuk meningkatkan IT Literacy / IT Awareness ada beberapa hal yang bisa dilakukan secara swadaya masyarakat, misalnya:

• Melakukan roadshow, seminar & talkshow.
• Mengaktifkan media interaksi melalui mailing list.
• Mempublikasikan semua kebijakan & regulasi pemerintah melalui Web yang bisa secara cuma-cuma di akses.
Proses sosialisasi e-commerce / IT di Indonesia hanya bisa berhasil jika pemerintah, swasta & berbagai lapisan masyarakat di Indonesia dapat menggunakan e-mail sebagai media komunikasi yang formal. Demikian salah satu kesimpulan utama yang bisa di petik dari Simposium APEC tingkat tinggi tentang e-commerce & perdagangan tanpa kertas (paperless trading) 9-10 Februari 2001 yang di buka oleh Mr. Shi Guangsheng, Meteri Luar Negeri & Kerjasama Ekonomi, dan Mr. Wu Jichuan, Menteri Negara Indusrtri Informasi dan Dutabesar Australia di Cina. Atas sponsor pemerintah Australia (bukan utangan Bank Dunia / IMF) saya berkesempatan untuk hadir dalam Simposium tersebut di adakan di China International Electronic Commerce Center yang terletak agak di luar kota Beijing dan tampaknya merupakan wilayah baru yang dikembangkan untuk industri masa depan.

Target yang ingin dicapai dari keseluruhan proses tersebut adalah sangat sederhana, kita menginginkan e-commerce & paperless trading dapat menjadi realita di negara maju APEC pada tahun 2005, sedang bagi negara berkembang APEC (termasuk Indonesia) di targetkan pada tahun 2010 harus bisa berpartisipasi dalam mekanisme perdagangan yang effisien tersebut. Sayang tidak ada praktisi hukum Indonesia yang terlibat di legal framework padahal pihak Australia bersedia untuk mensponsori lima (5) pengamat Indonesia untuk berpartisipasi dalam acara tersebut, kesempatan tersebut hanya di isi oleh rekan dari INDAG & POSTEL.

Mungkin ada baiknya teman-teman di APEC Desk di berbagai departemen untuk lebih akrab berkoordinasi terutama menggunakan e-mail / mailing list seperti genetika@yahoogroups.com atau mastel-e-commerce@yahoogroups.com. Sosialisasi e-mail adalah yang minimal harus di lakukan di masing-masing departemen di pemerintahan maupun di berbagai lapisan masyarakat sebelum kita terbang menuju tatanan e-commerce yang lebih pasti.

Harus di akui memang pola fikir, cara pandang masing-masing negara berbeda satu sama lain terutama karena tingkat kemajuan sosial & budaya masyarakat di masing-masing negara. Rekan-rekan dari negara maju seperti Australia, Amerika & Jepang biasanya berpegang pada asumsi bahwa masyarakat yang dihadapi relatif jujur, profesional & pandai. Sialnya, hal ini bukan gambaran umum di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.

Tiga (3) isu utama menjadi pokok bahasan selama simposium, (1) masalah infrastruktur, (2) masalah hukum / legal dan (3) sumber daya manusia. Dalam bidang Infrastruktur, isu utama-nya sebetulnya sangatlah klasik seperti penetrasi PC, penetrasi telepon di masyarakat. Tiongkok barangkali merupakan contoh paling fantastis dalam melakukan percepatan penetrasi teleponnya dari yang hanya beberapa juta saluran sambung di tahun 80-an, pada hari ini telah mencapai paling tidak sekitar 200 juta-an saluran sambungan. Belum lagi pengguna Internet di Tiongkok ini yang booming mencapai 20 juta pengguna. Semua di tunjang dengan berbagai gerakan yang cukup revolusioner di bidang industri, yang bisa kita lihat akibatnya dengan murahnya barang-barang buatan Tiongkok seperti kendaraan bermotor, peralatan komputer dll yang harganya rata-rata 50% dari harga pasaran di luar tiongkok. Belum lagi program pembrantasan korupsi yang tanpa kompromi dan telah berakibat minimal satu orang wakil menteri, dan beberapa pimpinan setingkat DIRJEN semua di hukum mati. Pada akhirnya pengembangan infrastruktur telekomunikasi maupun e-commerce merupakan seni tersendiri yang harus dibarengi oleh kebijakan pemerintah yang menunjang terjadi iklim industri telekomunikasi & informasi yang baik, kualitas sumber daya manusia yang baik maupun keahlian dalam berbagai teknik telekomunikasi baik yang menggunakan kabel maupun tanpa kabel melalui satelit atau microwave terutama untuk mencapai daerah rural / terpencil dan juga di perkotaan yang tidak bisa diberikan servis oleh Telkom pada kecepatan tinggi.

Di Indonesia masterplan untuk infrastruktur pendukung IT sebetulnya telah mulai di buat & di rangkum oleh rekan-rekan di POSTEL dibawah koordinasi Pak Ismail Ahmad (ismail@postel.go.id) & Pak Azhar Hasyim (azhar_hasyim@postel.go.id). Sebagian dari rencana strategis maupun rencana taktis yang akan digunakan untuk mengembangkan infrastruktur untuk memberdayakan masyarakat Internet di Indonesia dapat dibaca di beberapa artikel di detik.com. Salah satu hal yang paling menggembirakan adalah tidak akan ada pembatasan ijin ISP di Indonesia terutama untuk di luar jawa yang di sertai dengan kemudahan perolehan ijin ISP.

Dalam bidang hukum (legal), bea cukai sebetulnya merupakan kunci utama selain teknologi e-commerce. Penurunan tarif cukai & effisiensi kepabeanan merupakan trend utama. Estimasi penghematan US$50 milyar per tahun bagi konsumen diperkirakan bisa diperoleh dari berbagai effisiensi cukai. Perjanjian penurunan tarif ini merupakan bagian dari kesepakatan WTO khususnya Information Technology Agreement (ITA). Komputer merupakan salah satu peralatan yang tarif beacukai-nya di nol-kan, sialnya DIRJEN PAJAK kemudian mengenakan PPnBM (Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah) kepada komputer sebesar 20% - yang tentu saja sangat merugikan bangsa Indonesia sendiri secara keseluruhan.

Kebijakan / langkah pasti yang perlu di ambil masing-masing negara di usulkan oleh Michael Baker dari AOEMA (michael.baker@aoema.org) yang terdiri dari lima (5) kesepakatan internasional untuk melakukan e-commerce yang baik, mulai dari penyimpanan informasi secara elektronik; kebijakan menggunakan e-mail untuk berkomunikasi; indentitas, tanda tangan digital & hak cipta; penggunaan certificate authority; dan penggunaan kepercayaan pihak ke tiga.

Terakhir adalah bidang sumber daya manusia yang kebetulan saya terlibat secara aktif. Pada prinsipnya semua negara APEC setuju bahwa Sumber Daya Manusia merupakan kunci utama keberhasilan kita dalam mengembangkan e-commerce di masing-masing negara. Sialnya, kebanyakan orang maupun pemerintah memberikan kesan mengangkat isu SDM sekedar basa-basi supaya terlihat manusiawi saja oleh negara lain, tanpa memberikan program & budget yang betul. Pada dasarnya ada dua strategi umum yang perlu di jalankan di lapangan di samping kebijakan pemerintah yang kondusif. Pertama adalah masalah IT awareness / IT literacy untuk masyarakat banyak yang berfokus untuk meningkatkan kuantitas masyarakat IT. Kedua adalah pendidikan untuk IT profesional yang lebih di fokuskan pada peningkatan kualitas SDM profesional. Beberapa hal taktis yang bisa ditindak lanjuti oleh APEC dalam pemayarakatan IT misalnya:

• Penggunaan e-mail sebagai alat komunikasi yang resmi antar pimpinan APEC maupun pejabat tingginya.
• Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi antar negara. Sedang penggunaan bahasa lokal untuk komunikasi internal di negara masing-masing agar dapat menjangkau massa yang lebih besar.
• Memberikan insentif bagi penulis muda untuk menuliskan pengetahuan mereka dalam bahasa lokal.
• Mengadakan program training for trainers yang sifatnya kompetitif di antara negara APEC.

Beberapa langkah taktis yang dapat dilakukan oleh APEC untuk memperoleh lebih banyak IT Profesional, terutama:

• Meminta menteri pendidikan untuk memasukan IT kedalam kurikulum nasional.
• Memasukan IT dalam segala jenjang pendidikan baik formal, non-formal maupun informal.
• Encourge program sertifikasi IT yang berbasis di Industri, seperti MCP / MCSE pada Microsoft atau program serupa Cisco, Linux dll.
• Membangun market place untuk interaksi B2B antar pemain di APEC.

Selain usaha yang dilakukan oleh APEC, sebetulnya masing-masing negara dapat juga memacu pertumbuhan SDM yang melek IT, misalnya dengan cara:

• Mendorong tumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan terutama di bidang IT. Sukur-sukur DIKNAS bisa memudahkan semua proses perijinannya.
• Mendorong semua PTS, PTN untuk mempublikasikan hasil penelitiannya di publik, menggunakan GPL / copyleft.
• Mendorong terbentuknya perpustakaan digital & knowledge infrastruktur.

Untuk meningkatkan IT Literacy / IT Awareness ada beberapa hal yang bisa dilakukan secara swadaya masyarakat, misalnya:

• Melakukan roadshow, seminar & talkshow.
• Mengaktifkan media interaksi melalui mailing list.
• Mempublikasikan semua kebijakan & regulasi pemerintah melalui Web yang bisa secara cuma-cuma di akses.

--Onno W. Purbo--

0 komentar:

Template by:
Free Blog Templates